Mengembalikan Pendidikan Karakter Ke Keluarga

Menddidik Anak yang baik
Sejak isu pendidikan karakter bergulir pada 2010, hingga saat ini nampaknya belum terlalu memperlihatkan hasil yang maksimal.
Ibarat peribahasa jauh panggang dari api, tujuan utama pendidikan karakter yaitu untuk membangun keberadaban bangsa masih perlu dievaluasi kembali.
Hal ini mengingat masih banyak perilaku generasi penerus yang justru mempertontonkan kondisi bertolak belakang dari tujuan awal pendidikan karakter anak.
Dasar kampanye pendidikan karakter dikarenakan/lantaran kondisi keprihatinan terhadap praksis pendidikan yang semakin hari semakin tidak jelas arah dan hasilnya.
Satu sisi, dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, diamanatkan agar goal dari diselenggarakannya pendidikan nasional adalah demi berkembangnya warga negara (peserta didik) agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3).
Ironis ketika fakta di lapangan memperlihatkan kondisi yang bertolak belakang, justru banyak warga negara yang tidak berakhlak mulia (sejenis korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan kekerasan), kurang mandiri (konsumtif) atau manja, tidak bertanggung jawab, dan kasus lain yang justru bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
Satu pertanyaan muncul, apa yang salah dengan pendidikan nasional kita terutama pendidikan karakternya, sehingga setelah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, pendidikan nasional belum mampu berfungsi menunjang tumbuhnya anak bangsa yang berkarakter.
Kunci sukses tidaknya program pendidikan karakter terletak pada mampu tidaknya orangtua melaksanakan peran dan fungsi pendidikan karakter anak secara berkelanjutan. Makna konteks ini tidak terbatas pada ruang dan waktu, tidak hanya sebatas ketika anak berada dalam lingkungan keluarga saja.
Namun, juga ikut berperan serta partisipasi aktif berupa peningkatan porsi dalam mengawal anak misalnya di sekolah maupun masyarakat.
Di sekolah misalnya, bentuk konkritnya bisa berupa membangun kerjasama yang lebih solid dengan pihak sekolah terkait pengawasan pertumbuhan mental, intelektual, dan psikologis anak.

Comments

Popular posts from this blog

Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Pelajaran 2019/2020